MENJELANG
tutup tahun 2010, koran Kompas berulang-kali memuat tulisan tentang
ancaman kekerasan berlatar belakang agama. Misalnya, pada edisi 16
Desember 2010, koran itu menulis bahwa kekerasan berlatar-belakang agama
di Indonesia makin marak. Dan persoalan itu harus diselesaikan tuntas
karena kekerasan yang menodai multikulturalisme itu bakal mengancam
demokrasi Indonesia. Apalagi pemerintah selama ini absen dalam
penyelesaian masalah.
Persoalan ini, kata koran itu, mengemuka dalam peluncuran Jurnal Maarif edisi
akhir tahun di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, sehari sebelumnya,
serta diskusi yang dilakukan Maarif Institute, lembaga yang dipimpin
Ahmad Syafii Maarif, bekas Ketua PP Muhammadiyah .
Tapi benarkah analisa para ahli Maarif Institute yang disebar-luaskan Kompas
itu? Benar kalau dikatakan peristiwa kekerasan sekarang meningkat.
Tapi salah kalau dikatakan peningkatan itu hanya terjadi pada kekerasan
berlatar-belakang agama.
Memang setiap sore berita televisi selalu diwarnai peristiwa
kekerasan dari pelbagai pelosok Tanah Air. Tapi kekerasan itu bukan
hanya berlatar-belakang agama seperti dianalisa para ahli Maarif
Institute. Analisa itu terkesan dipaksakan untuk tujuan tertentu. Begitu
pula Kompas yang terus-menerus memberitakan isu yang sama.
Cukup banyak kekerasan terjadi sebagai ekor Pilkada. Ada kekerasan
karena perampasan lahan, penggusuran pedagang kaki lima, tawuran
antar-penduduk desa, antar-preman, antar-pelajar, bahkan
antar-mahasiswa. Malah yang tercatat sebagai peristiwa kekerasan paling
seru adalah ketika dua kelompok preman bertarung di depan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, di Jalan Ampera Raya, akhir September lalu.
Dua kelompok menggunakan berbagai jenis senjata tajam seperti golok
dan kelewang. Malah beberapa menggunakan senjata api. Terjadi
tembak-menembak di jalan raya, di siang bolong, tanpa polisi bisa
mencegah. Korban pun berjatuhan. Setidaknya 3 orang terbunuh, 12 terluka
termasuk 3 di antaranya polisi.
Yang hendak dikatakan: Maarif Institute – dan institute semacamnya
yang banyak tumbuh di masa 8 tahun pemerintahan Presiden Bush di Amerika
Serikat yang memerangi Islam – tak boleh memicingkan mata bahwa
Indonesia sekarang memang cendrung rusuh, termasuk rusuh antar-agama.
Kekerasan berlatar- belakang agama yang paling terkenal adalah
peristiwa Ciketing, perkelahian kelompok masyarakat setempat dengan
rombongan jemaah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang mengadakan
pawai di jalan mengakibatkan sejumlah orang cedera, 12 September lalu.
Akibat pemberitaan seru Kompas diikuti media lain – yang tak berimbang (cover both side)
– polisi menangkap pelaku tawuran hanya dari kelompok masyarakat
setempat. Padahal menurut Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziek
Shihab di dalam rombongan HKBP ada dua jemaah bermarga Purba dan Sinaga
membawa pisau dan tertangkap tangan oleh polisi pada waktu itu tapi
segera dilepaskan. Selain itu ada 9 anggota masyarakat terluka tapi
anehnya tak ada jemaat HKBP yang ditangkap.
Maka di tengah laporan media massa yang tak berimbang, pendapat
sementara tokoh yang bias, tapi kemudian tersebar luas tanpa sikap
kritis media massa, adalah amat menarik membaca laporan International
Crisis Group (ICG), 24 November lalu, berkaitan dengan peristiwa
kekerasan berlatar-belakang agama, terutama peristiwa Ciketing. ICG
bukan institusi Islam, jadi jelas tak ada hubungannya dengan FPI mau pun
MUI.
ICG adalah lembaga nirlaba yang independen berpusat di Brussels,
Belgia. Institusi itu kini dipimpin Louise Arbour, wanita berusia 63
tahun, bekas Hakim Agung Kanada dan bekas Komisi Tinggi PBB Urusan HAM
(United Nations High Commissioner for Human Rights).
Tentu jangan bandingkan ICG dengan Maarif Institute, Setara
Institute, Wahid Institute, atau Moderate Muslim Society (MMS), dan
organisasi semodel lainnya. ICG terlalu berwibawa dan rekomendasinya
tentang masalah pertikaian, konflik, atau peperangan, diterima banyak
negara, termasuk lembaga internasional semacam Uni Eropa, Bank Dunia,
atau PBB.
Maka sungguh aneh bin ajaib, ketika membuat analisa tentang kekerasan
berlatar-belakang agama di Indonesia sebagai evaluasi akhir tahun,
Maarif Institute atau organisasi sejenisnya mau pun Kompas sama sekali
tak menyinggung laporan ICG. Apakah karena ICG mengungkap gerakan
Kristenisasi padahal fakta itu harus disembunyikan?
Dalam laporan 20 halaman itu, ICG menyimpulkan salah satu penyebab
meningkatnya ketegangan Islam dengan Kristen di Indonesia adalah
Kristenisasi yang agresif dilakukan Kristen Evangelical, kelompok
Protestan fundamentalis yang dianut banyak penduduk Amerika Serikat.
Kristen Evangelical yang mencampurkan agama dan politik itu mulai
berkibar sebagai pendukung Partai Republik di zaman Presiden Ronald
Reagan, tapi betul-betul dominan di dalam percaturan politik Amerika
Serikat di dua priode pemerintahan Presiden George Bush. Bush sendiri
berteman dekat dengan para pendeta aliran itu seperti Pat Robertson,
Jerry Palwell (meninggal dunia beberapa tahun lalu), James Dobson, atau
Franklin Graham.
Di zaman Bush, negeri Islam seperti Afghanistan diserang dan
diduduki, Iraq dijajah. Lantas para pendeta Evangelical membenarkan
langkah-langkah Presiden Bush itu kepada rakyat Amerika Serikat. Belum
cukup. Para pendeta diikut-sertakan (embedded) bersama pasukan Amerika Serikat di Iraq dan Afghanistan guna menyebarkan ajarannya ke tengah masyarakat setempat yang Muslim.
Kembali ke Indonesia, memang menurut laporan ICG, ada faktor lain
yang berperan dalam ketegangan hubungan Islam – Kristen, seperti
kegagalan pemerintah, tumbuhnya organisasi Islam tertentu, dan
kebijakan desentralisasi. Tapi dalam mengembangkan strategi untuk
mengatasi ketegangan antar-kelompok di Indonesia, laporan ICG
menempatkan Kristenisasi dalam perhatian khusus. ‘’Isu Kristenisasi
bisa mempersatukan kelompok anti-kekerasan dengan kelompok ekstrim
pendukung kekerasan,’’ tulis laporan itu.
Isu Kristenisasi telah berkembang di Indonesia sejak 1960-an. Tapi
selama ini sensus penduduk tak menunjukkan pertumbuhan pengikut Kristen
yang signifikan. Dari sensus tahun 2000, penduduk Protestan 5,8%,
Katolik 3%, Hindu 1,8%, dan Islam 88,2%. Sisanya Budha dan Kong Hucu.
Begitu pun di kalangan ummat Islam isu Kristenisasi sangat mendapat
perhatian. Tak aneh kalau Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri pada
2006 membentuk Komite Penanggulangan Bahaya Pemurtadan (KPBP).
Belakangan nama itu berubah menjadi Komite Dakwah Khusus (KPK).
ICG mengungkapkan bahwa Kristen Evangelical aktif melakukan
Kristenisasi di Banten dan Jawa Barat, dua provinsi yang mengelilingi
Ibukota Jakarta. Bila sukses, kelompok agama ini akan bisa mendapatkan
tempat berpijak yang kuat di Ibu Kota.
Dari catatan ICG diketahui sejumlah organisasi Kristen dari Amerika
Serikat memiliki kegiatan di berbagai daerah di Indonesia, tapi terutama
aktif di Jawa Barat. Ada The Joshua Project yang beroperasi di
kalangan etnis Sunda, Lampstand (Beja Kabungahan) digerakkan misionaris
Amerika Serikat sejak 1969, Patners International berbasis di Spokane,
Washington, memiliki belasan group di Jawa Barat sebagai patner lokal,
Frontiers dari Arizona, dan Campus Crusade for Christ berbasis di
Orlando, Florida, memiliki cabang di Indonesia dengan nama Lembaga
Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI).
Pada Desember 2006, LPMI membuat masalah di Batu, Malang, Jawa Timur.
Ketika itu, LPMI mengadakan pelatihan. Dalam acara doa, pendetanya
meletakkan al-Quran di lantai dan menyuruh para peserta latihan
mengelilinginya untuk sebuah upacara mengusir setan. Sang Pendeta dan
para peserta doa kemudian ditangkap pihak berwajib karena tindakan
menghina al-Quran (blasphemy).
Dana Luar Negeri
ICG memfokuskan laporannya pada Bekasi, kota yang dari data lembaga
itu menunjukkan peningkatan jumlah penganut Kristen. Di tahun 2000,
Bekasi memiliki penduduk 1.668.494 jiwa, 89% adalah Muslim, 6,5%
Protestan, 3,2% Katolik. Pada tahun 2009, jumlah penduduk itu meloncat
menjadi 2.145.447 jiwa, di antaranya 87,3% Muslim, 8,05 Protestan, 2,98
Katolik. Artinya, ada penurunan prosentase penganut Islam dan Katolik,
tapi terjadi peningkatan prosentase penganut Protestan.
Meningkatnya jumlah penganut Protestan, menurut laporan ICG, sebagian
mungkin disebabkan terjadinya perpindahan orang Batak penganut
Protestan dari Sumatera Utara ke Bekasi guna mencari pekerjaan.
Tapi laporan ini pun mengungkapkan betapa gencar gerakan Kristenisasi
di kawasan itu yang menurut ICG, antara lain dibiayai dana luar negeri.
Di sana ada Sekolah Alkitab Terampil dan Terpadu (Integrated Bible
Training School) yang dijalankan Edhie Sapto, seorang Madura yang dulu
beragama Islam. Anehnya, seluruh pamplet dan atribut sekolah bertuliskan
Arab tapi mengajarkan Bibel. Lebih aneh lagi, sekolah yang dulu di
bawah Yayasan Kaki Dian Emas dan kini Yayasan Bethmidrash Talmiddin itu,
menurut laporan ICG, mensyaratkan setiap siswanya bisa diluluskan
setelah mengkristenkan 10 orang.
Tapi dalam hal menggarap orang Islam yang paling kontroversial
tentulah Yayasan Mahanaim atau Mahanaim Foundation. Didirikan sebagai
lembaga pendidikan dan sosial pada 1999 oleh Pendeta Rachel Indriati
Tjipto Purnomo Wenas atau lebih dikenal sebagai Iin Tjipto. Sebagai
bagian dari jaringan Pantekosta di Jawa, Mahanaim dijalankan keluarga
keturunan China dan ditujukan untuk menggarap orang miskin, terutama
anak-anak jalanan.
Maka yayasan ini memiliki rumah penampungan anak yatim yang dinamakan
Rumah Harapan dan sekolah gratis dari taman kanak-kanak sampai SMA.
Tampaknya yayasan ini memang bersimbah duit. Pada 2007, yayasan ini
mengklaim memiliki aset bernilai Rp 125 milyar, dan setiap bulan
menghabiskan dana Rp 1 milyar untuk aktivitasnya. Dalam ukuran Bekasi
jumlah itu tak bisa dibilang sedikit.
Yayasan memiliki divisi bisnis yang menjalankan toko buku sampai
servis ruangan pendingin (AC), termasuk bisnis properti. Salah seorang
pengurus yayasan sempat dihukum 10 tahun penjara karena terlibat
manipulasi pembangunan perumahan militer.
Tapi urusan bisnis dan manipulasi pembangunan perumahan militer itu
tak sampai menyebabkan pengurus yayasan bentrok dengan organisasi Islam
di tempat itu seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Gerakan
Pemuda Islam (GPI), Front Pembela Islam (FPI), dan Jemaah Ansharut
Tauhid (JAT). Yang menimbulkan ketegangan jelas karena gencarnya upaya
mengkristenkan orang Islam (Kristenisasi), terutama ditujukan kepada
kelompok miskin, lemah, dan tak berdaya.
Pada 1 Desember 2007, misalnya, yayasan itu membagi-bagikan makanan
kepada orang miskin dalam sebuah acara hiburan musik, tari-tarian, dan
atraksi kembang api, yang dinamakan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR).
Acara itu dilaksanakan di tempat terbuka di kawasan perumahan PT Taman
Puri Indah, Pekayon. Anehnya, mayoritas hadirin adalah Muslim. Wajar
kalau organisasi Islam di Bekasi menuduh acara itu adalah tipu-daya
untuk melakukan Kristenisasi.
Yang paling kontroversial adalah festival dua pekan yang digelar
Yayasan Mahanaim November 2008, disebut Bekasi Berbagi Bahagia (B3).
Acara dilaksanakan di 100 tempat terpisah di sekitar daerah itu dengan
membagi-bagikan hadiah telepon genggam, televisi, mobil, bahkan amplop
berisi uang kontan. Dalam kesempatan itu Yayasan Mahanaim pun
mensponsori perkawinan massal yang melibatkan 153 pasangan Muslim.
Organisasi Islam setempat – tergabung dalam koalisi Front
Anti-Pemurtadan Bekasi (FAPB) -- sudah melakukan protes terhadap
Mahanaim malah sebelum festival itu berlangsung, yaitu ketika yayasan
membagi-bagikan Bibel pada 17 Mei 2008. Yayasan itu dituduh memurtadkan
orang miskin melalui bujukan uang dan fasilitas lainnya.
Pada Hari Pendidikan 2 Mei 2010, ada demonstrasi anti-Narkoba di
Bekasi. Ketika melewati Masjid Al-Barkah, sejumlah orang yang ikut
arak-arakan memakai baju yang di bagian belakangnya ada sulaman bintang
David bewarna kuning, memisahkan diri dari barisan, membentuk formasi
salib.
Mereka mengembangkan bendera dengan gambar singa dan pedang, dan
tujuh nama Tuhan (menurut Kristen): Adonai, El Shaddai, Jehova Rapha,
Jehovah Nissi, Jehovah Shalom, Jehovah Shamah, dan Master of
Breakthrough. Mereka membagi-bagikan stiker bertuliskan\\\"Yoel
generation’’, dan kemudian meletakkan Mahkota Kristen (Christian Crown)
di depan Masjid.
Tak begitu jelas dari mana mereka berasal. Tapi menurut laporan ICG,
dari stiker bertuliskan ‘’Yoel generation’’ yang mereka bagi-bagikan
bisa ditebak mereka ada kaitan dengan kelompok Evangelical, atau di
Bekasi dikenal sebagai kelompok pemilik Yayasan Mahanaim. Di Cirebon,
Jawa Barat, misalnya, Mahanaim membuka blog internet dengan nama
Generasi Yoel. Pendeta Iin Tjipto menjadi kontributor tetap di blog itu.
Maka tak mengejutkan kalau komunitas Islam bereaksi atas aksi di
depan Masjid Al-Barkah yang merupakan provokasi dan penodaan agama
(blasphemy). Pada 8 dan 9 Mei 2010 ada tabligh akbar yang mengundang
para pembicara terkenal seperti Kiai Athian Ali, Abdul Qadir Djaelani,
atau Abu Bakar Basyir. Selain itu kelompok Islam mengirim delegasi
memprotes peristiwa di depan Masjid Al-Barkah ke alamat para pejabat
Pemda Bekasi.
Murhali Barda, Ketua FPI Bekasi membacakan pernyataan ummat Islam
Bekasi yang ditandatangani 40 tokoh, antara lain, menolak pembangunan
gereja yang tak sesuai peraturan berlaku, menolak segala bentuk aksi
Kristenisasi di komunitas Muslim, dan polisi agar menindak para
pelanggar hukum dan menghukum berat para perusak keharmonisan beragama.
Banyak ekses terjadi karena aksi agresif Kristenisasi di Bekasi.
Salah satunya adalah konflik warga dengan kelompok HKBP yang sedang
berusaha membangun gereja di daerah itu. Satu hal yang pasti harmonisasi
umat beragama di sana rusak dan terganggu.
Pertanyaan yang relevan sekarang: kalau Maarif Institute, Wahid
Institute, Setara Institute dan terutama Kompas, menggebu-gebu mengutuk
kekerasan atas nama agama, bagaimana sikap mereka terhadap aksi
Kristenisasi terhadap orang miskin, lemah, dan tak berdaya?
Betul memilih agama adalah hak warga negara. Tapi pilihan itu
dilakukan oleh warganegara yang bebas dan merdeka. Bukan orang miskin
yang lemah tak berdaya dan terpaksa menukar agamanya dengan rayuan
supermie, beras, telepon genggam, atau uang di dalam amplop. Tidakkah
tindakan memanipulasi kaum lemah atas nama kebebasan beragama harus
dikutuk juga karena menghina martabat dan harkat manusia?
Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
Title : Di Balik Kerusuhan Ciketing
Description : MENJELANG tutup tahun 2010, koran Kompas berulang-kali memuat tulisan tentang ancaman kekerasan berlatar belakang agama. Misalnya, pada ...