MENJELANG tutup tahun 2010, awal Desember ini,
Forbes, majalah bisnis dwimingguan dari New York, Amerika Serikat,
mengumumkan daftar 40 orang terkaya Indonesia. Sungguh mengharukan.
Betapa tidak?
Ternyata di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit rakyat
sekarang – harga beras dan barang kebutuhan pokok naik, lowongan kerja
sulit, sehingga semakin banyak saja orang menjadi TKW ke mancanegara,
terutama ke Malaysia dan Arab Saudi – para konglomerat dan taipan Indonesia bertambah kaya saja.
Seperti dicatat Forbes, 40 orang terkaya Indonesia memiliki harta
senilai 71 milyar dollar, atau melonjak 29 milyar dollar (nyaris 70%)
dibanding kekayaan mereka tahun lalu, yang hanya 42 milyar dollar. Yang
terkaya masih pemilik Group Djarum, R.Budi dan Michael Hartono dengan
kekayaan 11 milyar dollar atau Rp 100,1 trilyun. Tahun lalu kekayaan
keduanya masih 8 milyar dollar. Artinya, dalam setahun ini kekayaan
mereka meloncat 3 milyar dollar. Luar biasa.
Aburizal Bakrie alias Ical, konglomerat yang beberapa tahun lalu
pernah menjadi orang terkaya Indonesia, kini melorot. Ical menduduki
posisi 10 dengan kekayaan 2,1 milyar dollar. Ia cuma setingkat di atas
pengusaha tambang batubara Kiki Barki, pemilik PT Harum Energy Tbk, yang
baru tahun ini menyodok masuk daftar orang terkaya Indonesia.
Dua pengusaha yang pernah terbelit dana BLBI (Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia) dan sempat diperiksa Kejaksaan Agung, Anthony Salim dan
Sjamsul Nursalim, masih terdaftar sebagai orang terkaya Indonesia, walau
sekarang mereka lebih banyak berada di luar negeri.
Anthony Salim, putra konglomerat Orde Baru Liem Swie Liong itu
menduduki posisi orang nomor 5 terkaya Indonesia, dengan kekayaan 3
milyar dollar. Sedang Sjamsul Nursalim menempati posisi ke-23 dengan 850
juta dollar.
Pada 2008 kedua konglomerat itu diperiksa Kejaksaan Agung karena
tak melunasi puluhan trilyun rupiah dana BLBI. Ternyata kemudian aparat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Urip Tri Gunawan,
Ketua Tim Pemeriksa perkara itu di Kejaksaan Agung, menerima uang
660.000 dollar (lebih Rp 5 milyar) dari Artalyta Suryani, pengusaha yang
menjadi utusan konglomerat Sjamsul Nursalim.
Jaksa Urip divonis pengadilan 20 tahun untuk kesalahannya menerima
suap dan pengusaha Artalyta Suryani 4 tahun penjara. Tapi anehnya, sejak
itu kasus BLBI Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim tak pernah terdengar
kabar-beritanya. Tentu saja keduanya tak pernah menjadi terdakwa di
pengadilan. Maka dengan itu jangan heran kalau di negeri ini selalu saja
orang kaya akan bertambah kaya, dan sampai kapan pun tak pernah miskin
karena selalu ada yang bersedia melindungi.
Maka hampir pasti akan sia-sia, misalnya, apa yang dilakukan Eggi
Sudjana, pengacara dan Ketua Lepas (Laskar Empati Pembela Bangsa),
lembaga swadaya masyarakat di Jakarta. Kamis, 2 Desember lalu, Eggi
menghadap Babul Khoir Harahap, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Ka
Puspenkum) Kejaksaan Agung, untuk mendesak Kejaksaan Agung mengusut
korupsi yang melibatkan para pejabat Pertamina dan pengusaha Sandiaga
Uno.
‘’Kenapa dia tak diperiksa dan selalu mangkir? Kami dapat informasi
kalau Sandiaga Uno dilindungi oknum pejabat. Saya tahu pejabatnya tapi
tak etis untuk diomongkan,’’ kata Eggi Sudjana menuduh.
Kasus ini kabarnya sudah ditangani Polda Metro Jaya, sejumlah orang
sudah diperiksa. Sandiaga Uno yang disebut Eggi, juga sudah dipanggil
polisi tapi tak pernah datang. Kasus ini konon menyangkut pemalsuan
dokumen dalam pembangunan depo minyak di Balaraja, Banten, yang
merugikan keuangan negara 6,4 juta dollar atau lebih Rp 50 milyar.
Sandiaga Uno adalah pengusaha muda yang sedang berkibar. Dia
bergabung bersama Edwin Soeryadjaja dalam perusahaan yang dikenal
sebagai Saratoga Group. Dan mereka berdua masuk daftar 40 orang terkaya
Indonesia versi Majalah Forbes tadi.
Dengan kekayaan 1,6 milyar dollar, Edwin menduduki posisi 13.
Sedang Sandiaga Uno memiliki 795 juta dollar berada di peringkat 27.
Kekayaan Uno mengatasi pengusaha senior yang sudah punya nama besar
seperti Muchtar Riady dari Group Lippo atau Ciputra yang dikenal sebagai
Raja Real Estate Indonesia di zaman Orde Baru.
NEGARA RUGI LEBIH RP 1 TRILYUN
Tapi agaknya tak cuma Depo Balaraja yang mengaitkan Uno dengan
kasus menyerempet hukum. Sudah lama terdengar dugaan penyelewengan di PT
Telkom, perusahaan BUMN yang mengelola telekomunikasi Indonesia, yang
merugikan negara trilyunan rupiah, dikenal sebagai kasus MGTI. Dan itu
menyeret nama Uno mau pun patnernya Edwin.
MGTI (Mitra Global Telekomunikasi Indonesia) adalah perusahaan
mitra PT Telkom dalam Kerja Sama Operasi (KSO) membangun jaringan
telekomunikasi di Provinsi Jawa Tengah. Perusahaan itu dimiliki
Satelindo bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi Australia,
Telstra.
Mestinya baru di tahun 2010, seluruh proyek yang dibangun,
dibiayai, dan dikelola MGTI itu diserahkan ke PT Telkom. Tapi karena
krisis ekonomi 1998, ada pertimbangan proyek itu diserahkan lebih cepat
dengan sistem kompensasi. Maka MGTI pada tahun 2003 menawarkan proyek
itu ke PT Telkom seharga 266 juta dollar (sekitar Rp 2,4 trilyun). Tapi
PT Telkom hanya menawar seharga 212 juta dollar. Terjadi selisih harga
54 juta dollar (hampir Rp 500 milyar). Negosiasi gagal.
Melalui perantara Sandiaga Uno, yang dikenal sebagai usahawan muda
itu, kemudian MGTI bernegosiasi dengan ALBERTA, anak perusahaan SARATOGA
Group milik Edwin Soeryadjaya. Pengusaha dari keluarga bekas pemilik
Astra itu memang ‘’kuat’’ di Telkom. Buktinya, Aria West International,
perusahaannya, adalah pemegang proyek KSO untuk Jawa Barat. Dan Edwin
baru saja meraih Ernst and Young Award 2010, sebagai pengusaha
berprestasi Indonesia.
Singkat cerita, Januari 2004, MGTI dan Alberta sepakat jual-beli
proyek itu seharga 260 juta dollar. Kenapa mahal? Ternyata Alberta
membayarnya lewat kredit dari Bank Mandiri dengan agunan proyek Telkom
di Jawa Tengah yang dibangun MGTI itu. Kredit model begitu diperoleh
Alberta berkat bantuan Bahana Sekuritas. Sampai di sini masalah mulai
bermunculan.
Soalnya, dalam perjanjian KSO disebutkan MGTI boleh mengalihkan
haknya kepada pihak lain, tapi dengan syarat pihak lain itu adalah
operator telekomunikasi. Sedangkan Alberta tampaknya selain bukan
perusahaan seperti itu, bidang usahanya pun tak jelas. Ini satu masalah.
Tapi masalah terbesar ketika pada saat itu juga PT Telkom membeli
proyek itu dari Alberta dengan harga 390 juta dollar, atau lebih mahal
124 juta dollar (sekitar Rp 1,1 trilyun) dari harga yang dulu ditawarkan
MGTI secara langsung kepada PT Telkom. Selain itu ada lagi masalah
permainan dalam pembayaran pajak.
Tapi entah apa yang terjadi, walau sejak tahun 2007 kasus ini
dilaporkan ke KPK oleh Serikat Karyawan Telkom, sampai sekarang
perkaranya tak pernah sampai ke pengadilan. Malah, sejumlah pejabat
Telkom, MGTI, atau ALBERTA, yang bertanggungjawab dalam kasus ini, belum
pernah dipanggil atau diperiksa KPK. Padahal dari bukti-bukti yang ada
diketahui kalau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sudah mengauditnya
dan menemukan semua ‘’permainan’’ itu.
Sekarang saatnya Ketua KPK yang baru, Busyro Muqoddas, membuktikan
kepada masyarakat bahwa dia tak berkompromi dalam melawan korupsi,
seperti dikatakannya setelah terpilih sebagai Ketua KPK belum lama ini.
Bagaimana proyek MGTI bisa disulap jadi lebih mahal sehingga merugikan
negara lebih Rp 1 trilyun, harus dibuat terang-benderang.[]
Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta